Ingkang Ningali

Jumat, 11 Mei 2012

Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) 2012

Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) merupakan kondisi yang
bebas dari resiko yang relatif sangat kecil dibawah tingkatan tertentu, dan hal
ini sangat penting bagi perlindungan serta kesehatan kerja yang merupakan
aplikasi kesehatan masyarakat  dalam suatu tempat kerja bagi seluruh
masyarakat pekerjaan yang dimungkinkan  terkena paparan kecelakaan kerja
(Notoatmodjo, 2007). Keterangan diatas dapat menjelaskan bahwa semua
masyarakat pekerja dapat menjadi resiko bagi kecelakaan kerja apabila tidak diberikan pengetahuan tentang keselamatan kerja dan diajarkan beagaimana
mengaplikasikan perlindungan kerja diarea kerja masyarakat.
Substansi dalam berbagai bentuk dapat menimbulkan pengaruh
merugikan bagi kesehatan kerja dan dapat memberikan efek kecelakaan kerja,
misalnya kebisingan yang memiliki pengaruh utama kehilangan pendengaran
akibat imbas bising (noise induced hearing loos) dan kebisingan tersebut dapat menyebabkan kepenatan serta disorentasi (Ridley, 2007).
Menurut International Labour Organitation (2005) setiap tahun
terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh karena penyakit atau
kecelakaan akibat hubungan pekerjaan  dan sekitar 300.000 kematian terjadi
dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah kematian karena penyakit akibat
hubungan pekerjaan, dimana diperkirakaan terjadi 160 juta penyakit hubungan
pekerjaan baru setiap tahunnya. Data  ILO menyebutkan bahwa, kematian
terbanyak pada pekerja disebabkan  oleh kanker akibat kerja sekitar 34%,
karena gangguan pendengaran, gangguan muskuloskeletal, gangguan
reproduksi dan masalah kejiwaan. Menurut World Health Organization
(WHO), hanya sekitar 5-10% pekerja  di Negara berkembang dan 20-50%
pekerja yang ada di negara industri mendapatkan pelayanan kesehatan kerja
yang memenuhi standar (Aditama dan Hastuti, 2002).
Menurut Joedoatmodjo (2002), berdasarkan data dari PT Jamsostek 
angka kecelakaan kerja di Indonesia meningkat setiap tahunnya yaitu pada tahun 2000 terjadi 98.902 kasus dan berkembang pada tahun 2001 menjadi
104.774 kasus sedangkan pada tahun 2002 hingga juni tercatat 57.972 kasus
sehingga rata-rata setiap hari kerja  terjadi lebih dari 414 kasus kecelakaan
kerja diperusahaan yang tercatat sebagai anggota Jamsostek. Bulan Januari-
September 2003 diIndonesia telah terjadi 81.169 kasus kecelakaan kerja, dan
dari 81.169 terdapat 71 kasus cacat total tetap sehingga rata-rata dalam setiap
tiga hari kerja, tenaga kerja mengalami  cacat kerja dan tidak dapat bekerja
kembali. Dari kasus kecelakaan kerja 9,5% mengalami cacat, yaitu 5476 orang tenaga kerja, sehingga hampir setiap hari kerja lebih dari 39 orang tenaga kerja
mengalami cacat tubuh. Data di Indonesia menyebutkan bahwa tahun 2004 hingga Januari
2005, tingkat kecelakaan kerja di Indonesia mencapai 95.418 kasus dengan
1736 pekerja meninggal, 60 pekerja mengalami cacat tetap, 2932 pekerja cacat
sebagian dan 6114 mengalami cacat ringan, meskipun kondisi ini sudah mengalami penurunan angka kecelakaan kerja jika dibandingkan dengan data
pada tahun 2003 yaitu 105.846 yang berarti terjadi penurunan kasus sekitar
9,9% (Joedoatmodjo, 2002).
Menurut Dinas Tenaga Kerja dan  Transmigrasi (Disnakertrans)
(2007) jumlah kecelakaan kerja yang tidak sampai menimbulkan kematian
pada tahun 2009 menurun dari tahun sebelumnya, dan jumlah kasus yang
tercatat pada tahun 2009 mencapai 9.177 kasus, sedangkan pada tahun 2008
mencapai 9888 kasus dan pada tahun 2007 mencapai 6.340 kasus.
Pelaksanaan program K3 di tempat kerja ternyata belum sepenuhnya dapat terealisir dengan baik. Penyebabnya faktor manusia (SDM) yang tidak
mengikuti aturan keselamatan  kerja serta tidak adanya prosedur kerja yang
aman juga alat kerja yang tidak memenuhi syarat sehingga menjadikan faktor
lingkungan untuk terjadinya kecelakaan kerja (Prijanto, 2010). 
Faktor lingkungan dari penyakit  akibat kerja adalah  kebisingan,
pencahayaan, getaran, kelembapan udara serta mesin alat yang tidak sesuai
dengan beban kerja. Apabila faktor lingkungan tidak dicegah dengan program
K3, maka dapat menyebabkan kerusakan  pada alat pendengaran, gangguan pernapasan, kerusakan paru-paru, kebutaan, kerusakan jaringan tubuh akibat
sinar ultraviolet, kanker kulit dan kemandulan (Kondarus, 2006).
Berbagai faktor penyebab kecelakaan kerja menjadi ancaman dalam
setiap kegiatan kerja, untuk itu pencegahan kecelakaan kerja harus dilakukan,
baik dilingkungan industri kerja maupun didunia pendidikan misalnya SMK
yang menjadi dasar tenaga kerja profesional (Fathony, 2010).
Pengetahuan tentang kesehatan dan keselamatan kerja merupakan hal
yang sangat penting bagi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebagai
kelompok Teknologi dan Industri yang merupakan tempat untuk mencetak
tenaga profesional yang siap bekerja, untuk menanamkan sikap dan kebiasaan
yang disiplin dalam bekerja (Herman, 2007).
Minimnya akan pengetahuan dan kesadaran siswa tentang K3
merupakan dampak terbesar akan terjadinya kecelakaan kerja, disamping itu
juga kurangnya pemahaman siswa  tentang K3 dapat mempengaruhi perilaku
siswa saat praktikum di Bengkel Teknik Pemesinan di sekolah maupun di dunia industri nantinya (Laminanto, 2010).
Menurut Fathony (2010), Siswa SMK disarankan untuk mematuhi
peraturan dan juga pedoman khususnya mengenai K3 di dalam melaksanakan
praktikum di laboratorium teknik mesin  agar dalam pelaksanaannya tidak
mengalami kecelakaan kerja dan dapat melakukan  praktikum dengan baik,
bagi guru praktikum disarankan untuk mematuhi peraturan dan juga pedoman
khususnya tentang keselamatan kerja  di dalam melaksanakan praktikum
dilaboratorium tekhnik mesin agar dalam pelaksanaannya guru dapat
membantu siswa dalm mencegah kecelakaan kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar